"Purwakarta Terancam Skandal Besar: DBHP Tanpa Kondisi Luar Biasa, Tanpa SILPA dan Tanpa Perda P-APBD Berpotensi Tipikor"

Translate

"Purwakarta Terancam Skandal Besar: DBHP Tanpa Kondisi Luar Biasa, Tanpa SILPA dan Tanpa Perda P-APBD Berpotensi Tipikor"


Purwakarta|GPN.Com  13 November 2025 — Komunitas Madani Purwakarta (KMP) merilis hasil analisis hukum terbaru terkait dugaan penundaan dan tidak disalurkannya Dana Bagi Hasil Pajak (DBHP) Kabupaten Purwakarta pada Tahun Anggaran 2016–2018. Berdasarkan penelusuran dokumen resmi, audit BPK, serta kajian regulasi, KMP menyimpulkan bahwa terdapat indikasi kuat pelanggaran terhadap prinsip-prinsip pengelolaan keuangan daerah dan potensi tindak pidana korupsi.


DBHP adalah Mandatory Spending yang Wajib Disalurkan di Tahun Anggaran


DBHP merupakan dana wajib transfer dari pemerintah kabupaten kepada pemerintah desa. Menurut ketentuan:


DBHP harus disalurkan di tahun anggaran berjalan (asas annuality),


Tidak boleh digunakan untuk belanja lain (asas spesialitas anggaran),


Termasuk kategori mandatory spending.


KMP menegaskan bahwa setiap penundaan tanpa dasar hukum yang sah merupakan bentuk pelanggaran terhadap aturan fiskal.


Jika Tidak Disalurkan, Hanya Ada Dua Skenario Hukum


Berdasarkan bagan kajian KMP, ketidakdisaluran DBHP hanya dapat terjadi melalui dua kondisi:


1. Ada “Kondisi Luar Biasa”


Misalnya bencana besar, krisis fiskal, atau keadaan memaksa.

Syarat wajibnya jelas:


Izin DPRD,


Perubahan APBD (P-APBD),


Penetapan melalui Perda Perubahan APBD.


Jika ketiga syarat ini terpenuhi, DBHP boleh disalurkan di luar tahun anggaran, dan statusnya tetap legal.


2. Tidak Ada Kondisi Luar Biasa: Penundaan Menjadi Ilegal


Pada kondisi ini:


DPRD dapat meminta audit BPKP.


Audit menilai apakah terdapat SILPA DBHP.


Ditemukan dua kemungkinan kritis:


1. Ada SILPA DBHP: wajib disalurkan melalui Perda P-APBD di tahun berikutnya.


2. Tidak Ada SILPA DBHP:  mengindikasikan perbuatan melawan hukum, karena dana diduga digunakan untuk keperluan lain.


Temuan “tidak adanya SILPA DBHP” membuka ruang pidana karena DBHP tidak boleh hilang, bercampur, atau dialihkan ke pos belanja lain.


Potensi Tindak Pidana Korupsi Menguat


KMP menilai bahwa penundaan tanpa dasar hukum dan tanpa SILPA masuk kategori pelanggaran serius yang dapat dikenakan pasal-pasal berikut:


Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor – penggelapan/penyalahgunaan keuangan negara,


Pasal 3 UU Tipikor – penyalahgunaan kewenangan,


Pasal 15 UU Tipikor – permufakatan/percobaan korupsi,


Pasal 55 KUHP – penyertaan pihak yang turut serta.


KMP menyebut skema ini sebagai “indikasi kuat manipulasi anggaran dan penghilangan hak desa”.


KMP: Publik Berhak Tahu Nasib Dana Rp 71,7 Miliar


KMP menilai bahwa:


Tidak ada bukti kondisi luar biasa pada periode 2016–2018,


Tidak ditemukan Perda Perubahan APBD yang melegalkan penundaan DBHP,


Audit menunjukkan tidak adanya SILPA spesifik DBHP.


Dengan dasar tersebut, KMP menduga terdapat praktik penundaan ilegal dan pengalihan anggaran, yang merugikan desa-desa di Purwakarta.


KMP Pertanyakan:


Ada apa dengan DPRD, sampai hari ini tidak pernah memerintahkan Audit Investigatif oleh BPKP?


“Dana desa bukan milik pejabat. Ini hak masyarakat di tingkat paling bawah. Hilangnya DBHP berarti hilangnya hak pembangunan desa,” tegas Ketua KMP, Ir. Zaenal Abidin, MP.(Red)