Sapoe Saribu: Bingkai Cantik dari Kepemimpinan yang Rapuh, Tanpa Arah Transformasi

Translate

Sapoe Saribu: Bingkai Cantik dari Kepemimpinan yang Rapuh, Tanpa Arah Transformasi

 


Purwakarta, 9 Oktober 2025 / Galuh Pakuan Nusantara.Com -  Kang ZA, Ketua Komunitas Madani Purwakarta (KMP) Soroti kebijakan “Sapoe Saribu” — donasi Rp1.000 per hari yang digagas Pemerintah Provinsi Jawa Barat — mungkin tampak manis di permukaan. Ia dibingkai dengan narasi solidaritas, gotong royong, dan kepedulian sosial. Namun di balik bingkai cantik itu, tersimpan tanda tanya besar: apakah ini wujud inovasi ekonomi, atau justru bukti rapuhnya mentalitas kepemimpinan yang kehilangan arah transformasi?


Kepemimpinan yang kuat seharusnya melahirkan gagasan besar, bukan gagasan kecil yang dibesarkan oleh pencitraan. Ketika rakyat diminta menyumbang Rp1.000 per hari, sementara korupsi anggaran dan pemborosan proyek masih terjadi, publik wajar bertanya: di mana tanggung jawab negara? Apakah peran pemerintah kini bergeser dari pelindung rakyat menjadi penggalang donasi?


Program ini mencerminkan gejala reaktivitas fiskal dan kemiskinan visi. Alih-alih memperkuat kemandirian ekonomi daerah, pemerintah tampak tergopoh-gopoh mencari sumber dana alternatif di tengah keterbatasan APBN. Padahal, ketergantungan fiskal pada pusat justru menjadi akar persoalan: pemerintah daerah tidak berani melakukan transformasi ekonomi rakyat — membangun industri lokal, memperkuat produksi rakyat, dan menciptakan lapangan kerja yang berkelanjutan.


Dalam kacamata politik publik, “Sapoe Saribu” adalah simbol paradoks: rakyat yang seharusnya diberdayakan justru dijadikan penyumbang; negara yang seharusnya menyejahterakan malah menunggu empati rakyatnya. Donasi yang semestinya lahir dari kesadaran sosial justru diformalkan oleh kekuasaan — menjadikannya kebijakan yang kabur antara moralitas dan kegagalan manajemen ekonomi.


Krisis sebenarnya bukan pada uang seribu itu, melainkan pada mentalitas kepemimpinan yang rapuh — pemimpin yang cepat mencari simpati tapi lambat mencari solusi. Pemimpin yang lebih sibuk merancang narasi “kebersamaan simbolik” daripada membangun strategi ekonomi struktural. Kepemimpinan semacam ini tidak memimpin perubahan, tetapi sekadar mengelola persepsi agar tampak peduli.


Transformasi sejati bukan lahir dari seruan donasi, melainkan dari keberanian merombak sistem ekonomi yang timpang. Pemerintah seharusnya mendorong lahirnya industri rakyat, koperasi modern, dan investasi lokal yang memberi ruang kerja bagi keluarga-keluarga di Jawa Barat. Bila setiap kepala keluarga memiliki akses kerja dan penghasilan layak, maka solidaritas sosial akan tumbuh secara alamiah — bukan dipaksa lewat kebijakan yang membingungkan antara donasi dan pungutan.


“Bingkai Cantik” Sapoe Saribu akhirnya membuka tabir realitas: di balik jargon gotong royong, ada kegamangan arah dan kehilangan visi besar. Jawa Barat tidak butuh pemimpin yang pandai merangkai slogan, tetapi pemimpin yang berani menegakkan kemandirian ekonomi rakyat. Karena seribu per hari dari rakyat bukan jawaban, yang dibutuhkan rakyat adalah seribu solusi dari pemerintah yang berpihak dan visioner. Pungkas Zaenal Abidin, Ketua KMP.( Red )