Keadilan Restoratif Dalam Perspektif Hukum Pidana dan Undang Undang Nomor 1 Tahun 2023 (KUHP Baru).

Translate

Keadilan Restoratif Dalam Perspektif Hukum Pidana dan Undang Undang Nomor 1 Tahun 2023 (KUHP Baru).

 


Oleh : Ramses Terry, SH., MH., MA,. CMLC., C. Med.



Jakarta / Galuh Pakuan Nusantara.Com - Indonesian Mining Advocate, Indonesian Mining Experts Association, Indonesian Mining Legal Consultant & Lawyer Association, National Leadership Council of Indonesian Advocates Association, Mediator & Arbitrator of Indonesian Financial Industry.


Hukum pidana merupakan salah satu bagian dari hukum publik dan salah satu instrumen hukum yang sangat penting dalam tatanan hukum suatu negara. Dengan demikian, keberadaan hukum pidana dipandang sangat penting karena fungsinya itu sendiri yaitu sebagai jaminan keamanan didalam masyarakat dan menjaga ketertiban sosial.


Oleh karena itu, hukum pidana selalu diidentikkan dengan sanksi, ancaman  yang bersifat memaksa bagi siapa saja yang menjadi pelaku tindak pidana. Sehingga melalui Azas Legalitas, hukum pidana mencoba mencerminkan dirinya sebagai bagian dari tatanan hukum yang mengedepankan kepastian.


Sehingga didalam perkembangannya, bahwa terkait  peranan azas legalitas mengalami beberapa pergeseran dari waktu ke waktu. Di samping itu dalam ranah perkembangan hukum pidana di Indonesia terdapat satu hal yang tidak dapat dianggap remeh, yakni wacana pembaruan hukum pidana secara menyeluruh, terintegrasi yakni (hukum pidana materiil dan hukum pidana formil serta hukum pelaksanaan pidana). Maka realitas tersebut tidak dapat dipisahkan dengan catatan sejarah hukum pidana di Indonesia.


Maka dalam mendekati pemberlakuan KUHP Nasional, pemerintah melalui Kementerian Hukum telah gencar melakukan sosialisasi terhadap substansi di dalam KUHP Nasional kepada dan aparat penegak hukum. Khusus kepada aparat penegak hukum, pemerintah terus melakukan pelatihan atau training of trainers terkait pelaksanaan dari KUHP Nasional ini.


Oleh karena itu, perlu diketahui bahwa proses hingga disahkannya KUHP Nasional, yaitu berlangsung sangat lama dan memakan banyak waktu, tenaga dan pikiran, yang sebagian besar para perumusnya  terdiri dari akademisi (para dosen hukum pidana se-Indonesia).


Dengan lamanya proses hingga disahkannya KUHP nasional ini tidak lepas dari beberapa faktor, namun salah satu faktor yang dominan adalah di dalam prosesnya telah terjadi dialektika panjang baik secara akademis (perdebatan ilmiah) maupun secara politis (perdebatan kepentingan). Wajar apabila kita memiliki pandangan bahwa setiap undang-undang termasuk juga KUHP Nasional ini, selain sarat akan nilai dan asas juga terdapat muatan-muatan yang mengandung unsur politis di dalam formulasi normanya. Sehingga, harus menunggu lama bagi kita masyarakat Indonesia untuk memiliki dan memberlakukan produk nasional kita sendiri yaitu KUHP Nasional


Sejak tahun 2009 Indonesia telah memiliki beberapa aturan hukum, meskipun secara ekplisit belum menggunakan istitilah Restoratif Justice, namun aturan hukum tersebut telah memuat nilai nilai yang ada dalam keadilan restoratif antara lain yaitu mediasi penal dalam Rumusan Pasal 236 Undang Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang lalu lintas dan angkutan jalan, Diversi dalam Undang Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak, Mediasi penal bidang hak cipta dalam Rumusan Pasal 95 ayat (4) Undang Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang hak cipta dan Mediasi penal bidang paten dalam Rumusan Pasal 154 Undang Undang Nomor 13 Tahun 2016 tentang hak paten.


Sejak tahun 2012 konsep keadilan restoratif telah diakomodasi dan menjadi bagian dari Rancangan Kitab Undang Undang Hukum Pidana (RKUHP), dan RKUHP ini merupakan cikal bakal dari Undang Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitan Undang Undang Hukum Pidana (KUHP baru).


Mengutip Prof Barda dalam Siaran Persnya tanggal 2 Juni 2022 menyatakan bahwa konsep keadilan restoratif telah termuat dalam draf RKUHP 2012, RKUHP 2015, hingga draf RKUHP 2019. Konsep keadilan restoratif dalam ketiga draf tersebut pada dasarnya mempunyai kesamaan nilai. Perbedaan dari ketiganya itu hanya penambahan redaksional pada Rumusan Pasal Pasalnya, sehingga dalam siaran persnya Prof Barda menerangkan Rumusann Pasal Pasal tersebut berfukus pada perbaikan kerugian korban, kerugian lingkungan, dan kerugian masyarakat luas dalam hal ini keuangan negara.


Setelah melalui proses yang sangat panjang, akhirnya pada tanggal 6 Desember 2022 RKUHP di setujui oleh DPR untuk disahkan menjadi undang undang dalam sebuah rapat paripurna DPR. Dan Presiden RI kemudian mengesahkan undang undang tersebut pada tanggal 2 Januri 2023. KUHP tersebut akan mulai berlaku setelah tiga 3 tahun sejak tanggal di undangkan.


Dalam Rumusan Pasal 2 ayat (1), (2), dan (3) dalam Undang Undang Nomor 1 Tahun 2023 sangat tegas mengakui eksistensi hukum yang hidup dalam masyarakat yaitu dalam ketentuan sebagaimana diatur dalam Rumusan Pasal 1 ayat (1) tidak mengurangi berlakuknya hukum yang hidup dalam masyarakat yang menentukan bahwa seseorang patut dipidana walaupun perbuatan tersebut diatur dalam undang undang ini, dan hukum yang hidup dalam masyarakat sebagaimana di maksud pada ayat (1) berlaku dalam tempat hukum itu hidup dan sepanjang tidak diatur dalam undang undang ini dan sesuai dengan nilai nilai yang terkandung dalam pancasila, undang undang dasar negara republik indonesia tahun 1945, hak asasi manusia, dan asas hukum umum yang diakui masyarakat bangsa bangsa, serta mengenai ketentuan tata cara dan kriteria penetapan hukum yang hidup dalam masyarakat diatur dengan peraturan pemerintah.


Jika dalam penegakan hukum sebelumnya hanya mengikuti pada rumusan tindak pidana dalam undang undang ini, maka dalam Rumusan Pasal 2 ayat (1), (2), dan (3) undang undang nomor 1 tahun 2023 membawa pandangan yang berbeda. Sehingga dalam undang undang ini mengubah paradigma asas legalitas, hukum tidak tertulis yang sebelumnya bukan merupakan bagian hukum, saat ini diakui sebagai bagian dari hukum, yang artinya terdapat perluasan dari prinsip nulum delictum nulla poena sine pravia lege poenali yang artinya tidak ada delik tidak ada pidana tanpa peraturan terlebih dahulu.


Dengan diakuinya hukum yang hidup dalam masyarakat tersebut dilatarbelakangi oleh kenyataan bahwa pada beberapa daerah di Indonesia masi terdapat ketentuan ketentuan hukum tidak tertulis yang hidup dan berkembang dalam masyarakat yang di akui sebagai hukum yang menentukan bahwa pelanggaran atas hukum patut di pidana. Oleh karena itu, hakim dapat menetapkan sanksi berupa pemenuha  kewajiban adat setempat yang harus di laksanakan oleh pelaku tindak pidana, hal tersebut mengandung pengertian bahhwa standar nilai dan norma yang hidup dan berkembang dalam masyarakat setempat masi tetap dilindungi, sehingga keadaan seperti itu tidak akan menggoyahkan dan tetap menjamin pelaksanaan asas legalitas dalam hukum pidana.


Didalam mengimplementasikan pandangan baru tersebut, maka penegak hukum tidak dapat menegakan hukum secara sendiri, penegakan hukum harus berkoordinasi dengan masyarakat itu sendiri baik melalui lembaga lembaganya.


Sekalipun ada perbedaan penafsiran namun norma yang ada dalam Rumusan Pasal 2 ayat (1), (2), dan (3), undang undang nomor 1 tahun 2023 memberikan status yang pasti bagi delik adat, sehingga dalam penyelesaian delik adat memperoleh pembenaran apabila diterapkan dgn baik, maka norma dalam Rumusan Pasal tersebut sekaligus memberikan ruang integrasi antara penyelesaian konflik pidana tradisional dengan hukum yang hidup dalam sistem hukum formal.


Didalam Rumusan Pasal 51 undang undang nomor 1 tahun 2023 pada Bab III terkait pemidanaan, pidana dan tindakan yaitu mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakan norma hukum demi perlindungan dan pengayoman terhadap masyarakat, serta memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan dan pembimbingan agar menjadi orang yang baik dan berguna, menyelesaikan konflik yang ditimbulkan akibat tindak pidana, memulihkan keseimbangan, mendatangkan rasa aman dan damai dalam masyarakat, serta menumbuhkan rasa penyesalan dan membebaskan rasa bersalah pada terpidana, begitupula dengan Rumusan Pasal 51 huruf (a),  (b), (c), dan (d). Sedangkan didalam Rumusan Pasal 52 dinyatakan bahwa pemidanaan sama sekali tidak bertujuan untuk merendahkan martabat manusia, karena tujuan pemidanaan yaitu dalam perspektif keadilan restoratf.( Red )