Diduga, Orang Penting Nomor Dua di Kabupaten Purwakarta Jadi Penyuap Oknum Fraksi PDIP

Translate

Diduga, Orang Penting Nomor Dua di Kabupaten Purwakarta Jadi Penyuap Oknum Fraksi PDIP


Purwakarta / GPN - Dugaan kasus pengkhianatan pada Pilkada Purwakarta 2024 yang melibatkan empat anggota Fraksi PDIP DPRD Kabupaten Purwakarta dan mantan Ketua DPC PDIP setempat kembali memanas di 2025. 

Hengky Suan, Advokat Muda Purwakarta, menegaskan bahwa penegakan hukum tidak boleh berhenti pada penerima suap saja, tetapi juga harus menyasar pihak pemberi.

“Penyuap adalah pelaku pelanggaran hukum, bukan korban. UU Pemilu dan UU Tipikor sama-sama menegaskan hal ini,” kata Hengky, Selasa (12/8/2025).

Hengky merujuk pada Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, khususnya Pasal 280 ayat (1) huruf j dan Pasal 286 ayat (1), yang melarang pasangan calon, tim kampanye, maupun peserta pemilu menjanjikan atau memberikan uang untuk mempengaruhi pemilih maupun penyelenggara pemilu.

“Dalam konteks Purwakarta, pemberian uang kepada anggota DPRD untuk mengalihkan dukungan politik adalah bentuk politik uang yang dilarang UU Pemilu. Kalau terbukti, ini juga memenuhi unsur suap dalam UU Tipikor,” ujarnya.

Berdasarkan laporan sejumlah PAC PDIP di Kabupaten Purwakarta, calon wakil bupati dari partai lain berinisial AIH diduga memberikan Rp50 juta kepada Ketua DPC PDIP saat itu, serta Rp20 juta kepada masing-masing empat anggota DPRD. Dana juga disebut mengalir ke keluarga anggota dewan tersebut.

Temuan ini turut diperkuat oleh Berita Acara Rapat Koordinasi PAC PDIP se-Kabupaten Purwakarta Nomor: 17/PAC-PDIP/PWK/XI/2024 tertanggal 20 November 2024, yang memuat catatan adanya aliran dana diduga untuk pengalihan dukungan Pilkada. Dokumen ini kini disebut-sebut sebagai bukti penting untuk proses hukum.

Hengky menegaskan, ancaman hukum bagi pemberi politik uang diatur dalam Pasal 523 ayat (1) dan (2) UU Pemilu dengan pidana penjara maksimal 4 tahun dan denda hingga Rp48 juta. Sementara untuk suap terhadap penyelenggara negara, Pasal 5 ayat (1) UU Tipikor mengancam pelaku dengan pidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 5 tahun serta denda maksimal Rp250 juta.

“Kalau hanya penerima yang dihukum, sementara pemberi lolos, maka pesan yang muncul adalah uang bisa membeli politik. Ini berbahaya untuk masa depan demokrasi kita,” tegasnya.

Ia mendorong Bawaslu dan aparat penegak hukum untuk memproses dugaan pelanggaran tersebut hingga tuntas, tanpa pandang bulu. “Ini momentum untuk menunjukkan bahwa hukum tidak memihak kepada yang punya uang. Jangan sampai Purwakarta kehilangan kesempatan ini,” ucap Hengky Suan.( Red )