Bandung|GPN.Com - Masalah pertanahan memang masih menjadi isu yang aktual dari masa ke masa, dan hingga kini masih terus muncul, baik di tingkat desa/kelurahan, kecamatan, hingga tingkat pusat. Persoalan agraria ini dianggap cukup mendominasi, hingga diperlukan solusi untuk segera dipetakan kedepan.
Hal demikian pun tidak jauh berbeda dengan yang terjadi di wilayah Desa Sukaresmi, Kecamatan Rancabali, Kabupaten Bandung, Provinsi Jawa Barat.
Melalui Agus Chepy Kurniadi, selaku Ketua Persatuan Pewarta Warga Indonesia (PPWI) wilayah Jawa Barat (Jabar), Dasep Setiawan, yang merupakan pihak ahli waris, dan mengalami masalah pertanahan miliknya di wilayah tersebut, meyampaikan kronologi, dari mulai dikuasainya tanah tersebut pada tahun 1965, hingga berujung pada kasus dugaan penyerobotan tanah oleh beberapa kerabat dan salah satu warga atau tokoh masyarakat sekitar.
Baca berita sebelumnya:
Saat dikonfirmasi Tim Investigasi JAYANTARANEWS.COM, pada Sabtu (25/5/24), Dasep menyampaikan, bahwa dahulunya sekitar tahun 1965, tanah tersebut merupakan tanah negara yang digarap oleh orangtuanya, yaitu Bapak Adang Daman. Dikatakan Dasep, bahwa di lokasi tersebut, saat itu belum ada penduduknya, masih tanah kosong, dan desanya pun masih Desa Cipelah, belum dimekarkan menjadi desa sekarang, Desa Sukaresmi.
Hingga melalui proses yang panjang, tanah garapan tersebut pun diajukan ke pemerintah untuk dijadikan tanah hak milik. Dan disetujui lah oleh Gubernur Jawa Barat pada masa itu. Hal itu terbukti, yakni dengan turunnya SK Gubernur tahun 1975, yang dijadikan dasar untuk pengajuan pembuatan Sertifikat Hak Milik (SHM) No. 10, atas nama pemilik, Adang Daman. Dan di tahun 1985, barulah terbit sertifikat (SHM) dari Kantor Agraria/BPN, dengan nomor registrasi: No. 10, Surat ukur No. 680, tahun 1984.
Dasep, selaku ahli waris sekaligus kuasa dari pihak keluarga, menyampaikan, bahwa sekitar di bawah tahun 1990 an, orangtuanya (Adang Daman) pernah meminjam uang ke kakak iparnya (E. Warya), sebesar 22 ribu, yang pada saat itu mungkin nilainya cukup besar. Dan terjadilah kesepakatan, yakni dengan menjaminkan sertifikat tanah tersebut, dan bukan untuk menjual, karena sifatnya hanya hutang piutang.
Namun betapa kagetnya pihak keluarga Adang Daman, karena selang berapa lama, nyatanya dibangunlah rumah di atas tanah tersebut oleh E. Warya (kakak ipar Adang Daman), tanpa adanya komuniasi terlebih dahulu. Saat itu pun sempat dipertanyakan; kenapa membangun rumah tanpa adanya komunikasi? Namun jawabannya malah tidak mengenakan.
Seiring waktu berjalan dan sudah bisa dipastikan, hingga 3 (tiga) dari 6 (enam) bersaudara anak-anakya E. Warya, pun mulai turut mendirikan bangunan rumah di tanah tersebut, bahkan berani menjualnya kepada pihak lain. Mirisnya, kurang lebih 15 rumah dari yang sudah berdiri, dan yang paling luas atau sekitar 3/4 nya dari tanah tersebut sudah dijual ke H. Mahrum.
Namun, lagi-lagi kejanggalan pun muncul. Yakni manakala terbitnya AJB tanah tersebut yang dibuat oleh H. Mahrum melalui pihak Kecamatan Ciwidey (sekarang Kecamatan Rancabali) pada tahun 1997, yang di dalamnya ada tanda tangan Adang Daman.
Padahal diketahui, bahwa selama ini, Adang Daman belum pernah sekalipun menjual tanah tersebut kepada siapapun, dan tidak pernah menandatangani surat atau kuitansi apapun terkait tanah tersebut.
Menurut Dasep, bahwa sebetulnya, Bapak Adang sudah dari dulu dan beberapa kali mengajak atau mengupayakan secara persuasif terhadap orang-orang yang menempati tanah tersebut, terutama ke keluarga atau anak-anaknya Bapak E. Warya (kakak ipar Bapak Adang Daman) yang tinggal di tanah tersebut.
Begitu pun ke H. Mahrum, yang notabene menguasai paling luas lahan tersebut, bahkan menjadikannya sebagai lahan komersil selama bertahun-tahun dengan meraup keuntungan besar, yakni melakukan galian C yang diduga ilegal, dengan mengeruk batu pasirnya.
Alih-alih, meski seringnya melakukan koordinasi dan komunikasi, namun respon-respon mereka tidaklah mengenakan. Bahkan, dari pihak keluarga Adang Daman sendiri malah mendapatkan tekanan dan intimidasi dari mereka.
"Padahal, tujuan bapak saya itu baik. Selain akan dikasih kebijakan-kebijakan atas tanah tersebut, tujuannya supaya semuanya selamat dunia maupun akhirat, dan tidak mewariskan masalah secara turun temurun kepada anak cucunya nanti," kata Dasep.
Dasep juga sampaikan, bahwa sertifikat yang selama ini beredar di bukan kepemilikan yang sah, sekarang sudah berada di tangannya. "Alhamdulillah, sekarang sertifikat (SHM) sudah saya pegang, dan saya sebagai ahli waris anak laki satu-satunya dari Bapak Adang," terangnya.
Selintas pun muncul pertanyaan; kenapa sertifikat (SHM) bisa balik ke tangan Bapak Adang? Padahal sebelumnya diketahui, bahwa hampir sekitar 30 tahunan dipegang oleh salah satu keluarga E. Warya?
Dasep pun menjelaskan; bahwa Bapak E. Warya, selaku kakak ipar Bapak Adang, itu mempunyai 6 (enam) anak bersaudara. "Nah, ada salah satu anaknya yang paling baik dan jujur, dan dengan melalui proses yang panjang juga, Ia membujuk saudaranya yang menempati tanah tersebut, supaya mengembalikan sertifikat (SHM) tersebut ke tangan Bapak Adang. Karena dia anggap, Bapak Adang lah yang paling berhak atas tanah tersebut. Hingga kembalilah serifikat (SHM) tersebut di tahun 2019."
"Dan setelah mendengar langsung penuturan dari bapak saya, saya pun mulai sadar, bahwa saya adalah ahli waris yang sah dan berhak, keturunan dari Bapak Adang. Dan dalam hal ini, mau sampai kemanapun, saya akan maju untuk memperjuangkan keadilan demi tegaknya hukum bagi kami rakyat kecil," tandas Dasep.
Dasep paparkan, bahwa Bapak Adang tidak pernah menjual tanah tersebut kepada siapa pun. Dan tidak pernah menandatangani apapun terkait jual beli tanah tersebut. "Makanya saya nyatakan, AJB yang dipegang H. Mahrum, itu PALSU. Berikut rumah-rumah yang berdiri di tanah tersebut, juga tidak mempunyai dokumen yang sah," tuturnya.
Dia menyebut, bahwa langkah-langkah perjuangan untuk meminta keadilan terkait tanah tersebut memang tidak semudah membalikan telapak tangan. Karena nyatanya, bertubi-tubi yang sifatnya intimdasi dan intervensi pun dia alami.
"Pernah suatu saat saya akan membuat pelaporan ke Polresta, tapi saya malah diusir. Yang intinya, saya tidak boleh untuk melapor. Bahkan, hingga di Polda Jabar pun, saya dipanggil oleh salah satu oknum Kanit yang menawarkan dengan nominal uang 200 juta, ya saya tolak. Tapi tak lama kemudian, dia (oknum) nelepon saya lagi, dengan menawarkan nominal 400 juta, dan saya tolak lagi," urainya.
Di sisi lain, Ketua PPWI Jabar Agus Chepy Kurniadi, yang mendapatkan aduan dari anggotanya itu, pun turut berkomentar. Ia katakan; bahwa berkenaan dengan sanksi pidana terhadap tindak pidana penyerobotan tanah, yaitu merujuk pada pasal 385 KUHP, dimana di dalamnya berbunyi ancaman dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun.
"Dan jika benar ada munculnya AJB yang sudah mencantumkan atau diduga memalsukan tanda tangan Bapak Adang Daman, maka akan dikenakan Pasal 263 (1) KUHP, yang di dalamnya berbunyi: 'Barangsiapa membuat surat palsu atau memalsukan surat yang dapat menimbulkan suatu hak, perikatan atau pembebasan hutang, atau yang diperuntukkan sebagai bukti dari pada sesuatu hal dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai surat tersebut seolah-olah isinya benar dan tidak dipalsu, diancam jika pemakaian tersebut dapat menimbulkan kerugian, karena pemalsuan surat, dengan pidana penjara paling lama 6 tahun'," tandas Agus Chepy Kurniadi.
Agus Chepy menegaskan, bahwa PPWI Jabar akan terus mengawal, memonitor, bahkan mendampingi atas kasus yang dialami pihak ahli waris tersebut, sampai ditemukan solusi yang terang benderang.
Hingga berita ini ditayangkan, JAYANTARANEWS.COM sedang melakukan penelusuran ke lapangan, untuk mengorek sumber informasi ke beberapa pihak terkait, guna mendapatkan keterangan yang akurat dan berimbang. (Tim JN)
BERSAMBUNG...!!!
Catatan Redaksi: Apabila ada pihak yang merasa dirugikan dan/atau keberatan dengan penayangan artikel dan/atau berita tersebut di atas, Anda dapat mengirimkan artikel dan/atau berita berisi sanggahan dan/atau koreksi kepada Redaksi kami, sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (11) dan (12) Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers.
Artikel/berita dimaksud dapat dikirimkan melalui email: jayantaranews5915@gmail.com Terima kasih